Tulisan kecil ini mencoba mengulas secara umum pembangunan nasional yang sudah dijalankan paling tidak di era paska reformasi sejak ditetapkannya UU Keuangan Negara di tahun 2003. Pembangunan Nasional Indonesia bukan Pembangunan Nasional “di” Indonesia. Ini adalah salah satu pengejawantahan Trisakti. Pembangunan Nasional yang dijiwai dan direalisasikan dengan mewujudkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Pembangunan Nasional yang berdaulat dalam politik bermakna bahwa bangsa Indonesia berdaulat dalam menentukan arah perjuangan, arah pembangunan dan cita-cita yang akan diraih. Bangsa Indonesia berhak menentukan nasib sendiri, tidak didekte oleh kekuatan asing ataupun kekuatan modal baik dalam struktur ataupun suprastruktur pembangunan. Bangsa juga mempunyai kedaulatan dalam menentukan segala macam bentuk kerjasama dengan bangsa-bangsa lain dengan prinsip sesuai Pembukaaan UUD 1945.
Bergesernya Arah Pembangunan Nasional Yang Awalnya Untuk Memperkuat Ekonomi Nasional
Pembangunan nasional dengan kemandirian ekonomi bisa diartikan bangsa Indonesia mengutamakan prinsip “self help” membantu/menolong diri sendiri sebagai satu bangsa, dengan bergotong royong untuk memperkuat ekonomi Nasional. Langkah-langkah penguatan ekonomi dalam negeri seperti hilirisasi, membangun rantai nilai, perdagangan antar wilayah, memperkuat konektivitas fisik dan non-fisik (infrastruktur fisik dan intellectual connectivity), membangun badannya dan jiwanya merupakan satu kesatuan untuk memperkokoh kohesivitas bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan Nasional. Investasi asing tidak dihalangi, namun dengan benar-benar melihat manfaatnya bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pembangunan Nasional dengan prinsip berkepribadian dalam kebudayaan sangat penting untuk memperkokoh nation and character building agar bangsa menjadi bangsa yang bermartabat, bukan bangsa kelas dua, mempunyai jati diri dengan nilai-nilai keindonesiaan yang terus dibangun dan dijaga. Budaya politik dan budaya ekonomi harus bermartabat, dengan etos dan etika sesuai nilai-nilai Pancasila. Politik, Ekonomi, dan Budaya menjadi “telu-teluning atunggal”, satu kesatuan utuh yang saling melengkapi dalam dinamika pelaksanaan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Trisakti menjadi kerangka kerja membangun bangsa.
Pembangunan di banyak negara saat ini, termasuk Indonesia sebagian besar disadarkan pada “kerangka ekonomi makro dan arah kebijakan fiskal” sebagai basis untuk merencanakan anggaran (APBN/APBD). Kerangka makro memproyeksikan potensi penerimaan negara berdasarkan asumsi makro: indikator pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, harga minyak, lifting ataupun produksi minyak, target penurunan pengangguran dan kemiskinan. Dari asumsi tersebut dapat diproyeksikan seberapa besar penerimaan pajak dan bukan pajaknya. Setelah itu dihitung kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo dan harus dipenuhi (hutang pokok dan bunga pemerintah) serta Belanja-Belanja yang mengikat seperti gaji dan lain-lain.
Sebagai dasar pertimbangan yang lain adalah “arah dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang intinya menjaga defisit anggaran (3% batas limit defisit menurut UU No.17/2003). Kalau melebihi 3% maka bisa menjadi pintu masuk untuk “impeachment” terhadap Kepala Pemerintahan. Dengan adanya Pandemi Covid-19 ada penyesuaian tingkat defisit anggaran menjadi maksimum 5% (berdasarkan Perppu yang kemudian menjadi UU). Namun tahun 2023 harus sudah bisa kembali lagi ke tingkat 3% secara bertahap mulai 2020 yang lalu. Ini adalah konsepsi perencanaan yang mengikuti model MTEF (Medium Term Expenditure Framework) yang digunakan dalam sistem GFS (Government Financial Statistics) dari IMF (International Monetary Fund).
Tujuan utama ekonomi makro adalah: mendorong pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas ekonomi, menjaga defisit anggaran dan neraca pembayaran. Sementara pada praktiknya penanggulangan kemiskinan, masalah ketimpangan, kebodohan, pengangguran merupakan derivasi dari pencapaian tujuan makro tersebut. Sehingga pada pelaksanaannya para ekonom makro lebih mentargetkan sasaran tingkat pertumbuhan, inflasi, defisit anggaran, dan lain-lain yang bersifat agregat secara nasional.
Pembangunan Nasional Tereduksi Menjadi Pembangunan Menurut Model MTEF Ala IMF
Di Indonesia Lembaga Perencanaan (Bappenas dan Bappeda) menyiapkan rancangan belanja sesuai prioritas nasional dan Kementerian keuangan menentukan sumber-sumber pembiayaannya. Dalam model seperti ini target-target pembangunan yang sudah disepakati secara politik antara Pemerintah dan DPR dalam rapat kerjanya hanya mempunyai ruang gerak dibawah anggaran yang ada dan lebih bersifat “residual” karena semuanya tergantung besaran-besaran makro yang harus disepakati pada awal proses pembahasan di rapat kerja DPR-Pemerintah. Artinya: pembangunan bangsa yang diturunkan dari RPJPN, RPJMN, dan Rencana Tahunan tidak bisa tidak harus mengikuti MTEF tersebut.
Pembangunan nasional tereduksi menjadi pembangunan yang merupakan sub sistem dari pembangunan ekonomi berlandaskan kerangka MTEF model IMF tersebut. Hal ini tidak bisa dihindari karena diatur dalam UU Keuangan Negara (UU No.17/2003).
Kalau kita menggunakan kerangka pikir dan kerangka kerja Trisakti dari Bung Karno, paling tidak tiga bidang (politik, ekonomi, dan budaya) ini berdiri sejajar dan saling melengkapi menjadi satu kesatuan utuh dalam membangun peradaban bangsa. Dan ini tidak hanya menjadi tugas dan beban pemerintah tetapi tugas seluruh komponen bangsa (baca: seluruh rakyat). Dalam konteks inilah pembangunan nasional sudah tereduksi menjadi pembangunan ekonomi, paling tidak lebih mengutamakan pembangunan ekonomi atau bidang ekonomi sebagai “komandan”nya (leading sektor). Sudah saatnya dikaji dan dipikirkan model pembangunan yang lebih sesuai dengan kerangka Trisakti dan model yang secara konsisten menjaga nilai-nilai Pancasila agar pembangunan nasional tidak tereduksi.*
Penulis: Dr. Prasetijono Widjojo MJ, MA