IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL
IKUTI KAMI DI MEDIA SOSIAL

Pembangunan Indonesia Terperangkap Dalam Konsepsi Kesejahteraan Individual

Pada tahun 2015, The Legatum Institute mengeluarkan daftar indeks kemakmuran negara-negara sedunia. Indeks Kemakmuran Legatum ini, didasarkan pada berbagai faktor termasuk kekayaan, pertumbuhan ekonomi, kualitas hidup, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan pribadi. Indeks ini didasarkan pada analisis 167 negara di seluruh dunia dengan 104 variabel berbeda.

Negara-negara paling makmur di dunia memiliki tingkat kebebasan, keselamatan dan keamanan, pendidikan, dan kesehatan yang tinggi. Negara-negara tersebut juga memiliki lingkungan dan kondisi alam yang sehat yang memungkinkan kemakmuran ekonomi seperti perlindungan investasi, peraturan bisnis yang menguntungkan, dan infrastruktur pasar.

Tahun 2021 Indonesia Di Urutan Ke-62

Berdasarkan data indeks kemakmuran tahun 2015 tersebut, Indonesia berada di urutan ke-69 dari 142 negara. Posisi Indonesia naik 21 peringkat dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2021, Indonesia kembali naik ke urutan 62.

Sebuah prestasi tentunya. Namun yang menjadi persoalan kemudian, mengapa kemakmuran kita belum maksimal di tengah keberlimpahan SDA?  Terlebih, dari urutan negara 10 besar yang memiliki indeks kemakmuran tertinggi, terdapat negara yang memiliki sumber daya alam terbatas seperti Belanda misalnya. Secara keseluruhan kesepuluh besar negara yang memiliki indeks kemakmuran tertinggi pada tahun 2021 adalah: Denmark, Norwegia, Swiss, Swedia, Finlandia, Belanda, Selandia Baru, Jerman, Luksemburg, dan Islandia. Mungkinkah semua itu karena kita tengah mengalami kutukan sumber daya alam dan kutukan keberlimpahan?

Kesejahteraan Individual Versus Kesejahteraan Negara

Di luar teori tentang kutukan sumber daya alam dan kutukan keberlimpahan yang tentu kurang bersumber pada kajian ilmiah tersebut, sesungguhnya kita terperangkap pada konsepsi “kesejahteraan individual.” Dus, bukan kesejahtetaan negara (welfare state) apalagi kesejahteraan warga (welfare society) yang jadi matriks dan tujuan. Konsep kesejahteraan individu ini didesain dari matriks iklan dan tipuan. Artinya, tiap individu diperangkap oleh pasar untuk hidup dari, oleh dan untuk dirinya. Jadilah individu yang serakah.

Lahirlah masyarakat iklan. Bukan masyarakat sejahtera. Inilah konstruksi ralitas kehidupan yang terjadi sekarang di Indonesia. Realitas masyarakat konsumeris yang hidup berdasarkan angka-angka.

Dalam masyarakat (ber)konsumen, konsumsi tidak mendapatkan tempat sebagai pemenuhan kebutuhan. Tapi, ia hadir sebagai prestise sosial belaka. Kesejahteraan dan kemakmuran bersama tak jadi ontologi. Apalagi epistema dan aksi-aksi.

Kehidupan konsumerisme ini disebabkan oleh iklan yang mendominasi kehidupan. Iklan produksi pasar, juga kreasi individu serakah yang berbentuk oligark. Iklan yang menyajikan sebuah realitas non-riil yang kamuflatif. Lahir dan berkembanglah “komodifikasi apa saja via iklan yang memanipulasi masyarakat penikmat iklan.”

Para penikmat ini mengembangkan dan mentradisikan balik, arus iklan awal yang mereka terima. Jadilah pusaran resiprokal. Mereka tak bisa lagi keluar dari cengkraman itu. Bahkan berpikir solusi saja tidak. Apalagi mencipta “jalan keluar.”

Tentu, akibat berputar-putar di seputar negeri iklan; konsumsi iklan; resiprokal iklan maka lahirlah hiperrealitas yang berbentuk galaksi simulakra. Selebihnya, kita tak lagi hidup bersama, apalagi menempuh kemakmuran bersama.

Kemakmuran menjadi ilusi. Kemakmuran bersama menjadi mati. Terkubur bersama ketiadaan kesadaran diri. Tentu ini pekerjaan besar kita semua. Sebab, kemakmuran bersama itu cita-cita utama kita dalam bernegara.(*)

 

Penulis: Dr. M. Yudhie Haryono

Bagikan ya

Leave a Reply